Sabtu, 11 Juni 2011

Sejarah Meulaboh : Dalam ragam versi


Dalam versi I
Dari 3 buah buku tentang sejarah Aceh yaitu Aceh Sepanjang Abad, Atjeh dan Nusantara serta buku kopian dari perpustakaan Ali Hasyimi (judulnya sudah tidak jelas lagi).

Nama Meulaboh tak akan dipisahkan dari 2 perang besar di Jaman Belanda yang terjadi pada 2 daerah berbasis Islam terbesar di Pulau Andalas (Sumatera) yaitu Aceh dan Minangkabau. Jika di daratan Minang dikenal adanya perang padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol. Perang ini melibatkan 2 pihak bersaudara sesama muslim antara kaum paderi yang membawa ajaran pembaruan Islam beraliran Wahabi dari Arab. Tiga orang ulama pulang dari mengikuti pendidikan di Arab. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik. Ajaran pembaruan Islam yang dibawa tiga orang haji ini, membuat gundah masyarakat Minangkabau yang waktu itu sudah menganut ajaran Islam, yang disebut beraliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah.

Inti cerita perang ini adalah tentang makin kuatnya garakan Paderi melakukan penyerangan terhadap kaum adat yang menguasai Kerajaan Minangkabau di istana Pagaruyung. Dampaknya berpengaruh kepada para penghulu pemangku adat, yakni para datuk yang menjadi kepala suku di luhak nan tigo. Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak Limapuluh Koto. (Luhak-luhak tersebut sekarang disebut kabupaten).

Salah seorang datuk yang merupakan kaum bangsawan dari keluarga Kerajaan Minangkabau itu, adalah Datuk Rajo Agam, penghulu suku Sikumbang di Luhak Agam. Bersama Datuk Rajo Alam dari Luhak Tanah Datar dan Datuk Makhudum Sati dari Luhak Limopuluh Koto, mereka bersepakat menghindari pertumpahan darah, mengungsi ke arah Utara. Dengan menaiki beberapa perahu di pelabuhan Tanjung Mutiara rombongan berlayar ke arah Utara (ke arah Aceh). Dan berlabuh di suatu negeri pantai yang waktu itu bernama Pasir Karam.

Kedatangan bangsa Minangkabau ke daratan Aceh, yang dulunya bernama Pasir Karam ini diperkirakan awal mula munculnya kata Meulaboh, dimana para pendatang itu kemudian mengucapkan kata: “… di sikolah kito belaboh…” dan pengucapan kata itu hari demi hari ini menjadi sebuah kebiasaan masyarakat yang pada masa dulu menjadikan sebuah cirikhas daerah menjadi nama daerah tersebut.

Dari buku Atjeh dan Nusantara, diungkapkan oleh HM Zainuddin, bahwa negeri ini dibangun pada masa Sultan Saidil Mukamil (1588-1604). Pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) negeri itu ditambah pembangunannya.

Di negeri itu dibuka perkebunan merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai karena belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk mengambil muatan kemenyan dan kapur barus. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasir Karam kembali ditambah pembangunannya dengan pembukaan kebun lada.

Pendatang dari Minangkabau itu kemudian hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Diantara mereka malah ada yang menjadi pemimpin diantaranya: Datuk Machadum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari Sumpu. Mereka menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk Machdum Sakti membuka negeri di Merbau, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana.

Sama dengan masyarakat setempat, ketiga Datuk tersebut juga memerintahkan warganya untuk membuka ladang, sehingga kehidupan mereka jadi makmur. Ketiga Datuk itu pun kemudian sepakat untuk menghadap raja Aceh, Sultan Mahmud Syah yang dikenal dengan sebutan Sultan Buyung (1830-1839) untuk memperkenalkan diri.

Ketika menghadap Sultan masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.

Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu mereka meminta kepada Sultan Aceh yang baru Sultan Ali Iskandar Syah (1829-1841) untuk menempatkan satu wakil sultan di Meulaboh sebagai penerima upeti. Permintaan ketiga Datuk itu dikabulkan oleh Sulthan, dikirimlah ke sama Teuku Chik Purba Lela. Wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan dan menerima upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.

Para Datuk itu merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Permintaan itu juga dikabulkan, Sultan Aceh mengirim kesana Penghulu Sidik Lila Digahara yang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.

Permintaan itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta agar dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasahah dan hokum Syariat. Maka dikirimlah ke sana oleh Sultan Aceh Teungku Cut Din, seorang ulama yang bergelar Almuktasimu-binlah untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di Meulaboh.

Di Meulaboh para pendatang dari Minangkabau itu membuka perkebunan lada yang kemudian membuat daerah itu disinggahi kapal-kapak Inggris untuk membeli rempah-rempah. Karena semakin maju maka dibentuklah federasi Uleebalang yang megatur tata pemerintahan negeri. Federasi itu kemudian dinamai Kaway XVI yang diketuai oleh Uleebalang Keudruen Chik Ujong Kala.

Disebut Kaway XVI karena federasi itu dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu Uleebalang Tanjong, Ujong Kala, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu, Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am.

Salah seorang dari 3 datuk yang berkuasa di Meulaboh, adalah Machdum Sakti, yang merupakan Kakek dari Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Datuk Makdum Sakti mempunyai dua orang putra, yaitu Teuku Nanta Setia dan Teuku Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud yang menikah dengan adik raja Meulaboh Cut Mahani merupakan bapak Teuku Umar. Dan Teuku Nanta Setia (penerus Uleebalang) adalah Ayahanda dari Cut Nyak Dhien, jadi Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar itu adalah Sepupu.

Dalam versi II
Catatan sejarah menunjukan bahwa Meulaboh sudah ada sejak 4 abad yang silam, yaitu pada masa Sultan Sultan Saidil Mukamil (1588-1604) naik tahta. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), negeri itu ditambah pembangunannya. Pada waktu itu mulai dibuka perkebunan merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai karena belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk memuat kemenyan dan kapur barus. Lalu pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasi Karam kembali ditambah pembangunannya dengan memperluas pembukaan kebun merica. Untuk mengelola kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh Besar.
Pendapat lain mengatakan bahwa Meulaboh telah dikenal sejak abad ke XV, sementara para Datuk yang hijrah ke Meulaboh baru tiba pada abad ke XVIII, faktanya ada jarak waktu yang sangat jauh disini. Pendapat lain mengatakan, kata "Meulaboh" itu berasal dari bahasa Aceh yang umum digunakan oleh suku Aceh setempat.

Kata Meulaboh berasal dari kata "laboh", yang menurut Kamus Aceh-Indonesia terbitan Pusat Pembinaan Departemen Pendidikan, Lembaga Pengembangan dan Bahasa dan Kebudayaan Tahun 1985 yang disusun oleh Aboe Bakar dkk dijelaskan bahwa kata Laboh dalam bahasa Aceh artinya (verb): membuang, melemparkan, menjatuhkan, jatuh, turun, bergantung rendah: "pat ji Laboh pukat?" Di manakah mereka berpukat? "pakon laboh that tangui ija? Tapeumanyang bacut!" Mengapa Anda memakai kain rendah sekal?. Tinggikanlah sedikit. "bak jiplueng-plueng ka laboh di aneuk nyan", Ketika berlari-lari, jatuhlan anak itu. Meulaboh; teulaboh: dibuang, diturunkan, meulaboh; teulaboh saoh: Sauh sudah di buang, teungoh ji meulaboh: mereka sedang berlabuh.
Pendapat bahwa penamaan Kota Meulaboh oleh orang Minang itu perlu dipertanyakan lagi, dengan alasan lain bahwa kata Meulaboh banyak terdapat di Aceh Barat

Ada Babah Meulaboh, Tanjong Meulaboh, Meulaboh Dua (ini malah di Nagan) dan Krueng Meulaboh. Nama itu sama banyak dengan penggunaan kata "padang" pada kampung atau tempat-tempat di Aceh; ada Kuta Padang, Padang Panyang, Padang Sikabu, Blang Padang, Padang Tiji dan masih banyak lagi yang lainnya. Ini tidak dapat dijadikan bukti bahwa nama itu diberi oleh orang Padang. Hampir sama dengan sebuah idiom yang menyebutkan bahwa "Colorado" diberi nama oleh orang Padang (karena bila kata tersebut diurai akan menjadi "color ado"). Kata "padang" juga terdapat dalam bahasa Aceh, yang berarti tempat atau tanah luas. Kota Meulaboh sendiri telah ada sejak 402 tahun lalu, sedangkan Perang Paderi baru terjadi pada abad XVIII. 


Kedatangan para Datuk itu benar adanya, tetapi sesungguhnya mereka itu orang Aceh yang didatangkan kesana pada masa Sultan Iskandar Muda, yaitu ketika Aceh menguasai Sumatera Barat. Para petinggi Aceh di ranah Minang itu menjadi pemangku adat dan pemerintahan. Namun peran mereka tereduksi akibat adanya reformasi yang dilakukan kaum paderi yang terpengaruh paham Wahabi di Arab Saudi. Tercatat tiga orang ulama yang pulang dari mengikuti pendidikan di Arab. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik. Ajaran pembaruan Islam yang dibawa tiga orang haji ini, membuat gundah masyarakat Minangkabau yang waktu itu beraliran Sunni. Karena terdesak oleh kaum paderi, para datuk itu ingin pulang kampung (kembali ke Aceh) dan sebagian lagi tidak.

Sekembalinya ke tanah leluhur, para Datuk dan rombongannya itu hidup berbaur dengan masyarakat setempat, bahkan ada yang menjadi pemimpin, di antaranya: Datuk Machdum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari Sumpu. Mereka menebas hutan dan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah. Datuk Machdum Sakti membuka negeri di Mereubo, kemudian pindah kearah Woyla, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang kemudian menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered by FeedBurner